Senin, 23 Maret 2020

Asal mula kata Indonesia


Sejak kapan Indonesia bernama Indonesia? Sejarah penamaan Indonesia diterangkan antara lain oleh salah seorang Bapak Proklamator kita, Mohammad Hatta, dalam artikelnya yang berjudul "Tentang Nama Indonesia" (pernah dimuat dalam De Socialist nomor 10, Zaterdag, 8 Desember 1928).
Menurut Bung Hatta, pada umumnya Adolf Bastian, seorang ahli etnologi asal Jerman, disebut-sebut sebagai pencetus nama Indonesia, yakni Indonesie.
Keterangan ini diperolehnya dari pidato Prof Dr GA Wilken saat menerima gelar guru besar pada 1885 di Universitas Leiden. Dalam kata-kata Wilken, Bastian adalah seorang "raja sarjana-sarjana ilmu bangsa-bangsa (etnologi --Red)."
Bung Hatta meneruskan, Bastian memang memakai sebutan Indonesie untuk judul karyanya: "Indonesien oder die Inseln des malayischen Archipels" (1884). Indonesie dipakainya untuk merujuk pada fakta geografis, yakni "Kepulauan Nusantara."
Hatta mengungkapkan, sejak kemunculan karya Bastian itu, sebutan Indonesia menjadi lazim dalam pembicaraan keilmuan.
Kiprah Ilmuwan Inggris
Akan tetapi, Bastian bukanlah yang pertama memakai kata Indonesie atau Indonesiers ('orang-orang Indonesia'). Sebab, masih ada pakar etnologi George Windsor (GW) Earl dan koleganya, James Richardson (JR) Logan. Keduanya berkebangsaan Inggris.
Pada 1850, GW Earl menggagas sebutan Indunesians (atau Indu-nesians). Saat itu, dia sedang menjelaskan realitas etnografis, yakni "ras berkulit sawo matang/cokelat di Kepulauan Hindia."
Mengutip Robert Edward (RE) Elson dalam bukunya, The Idea of Indonesia, tak lama setelah itu Earl justru mengganti sebutan Indu-nesians dengan Malayunesians. Alasannnya, sebutan yang pertama itu terlalu umum, sedangkan yang kedua lebih khusus.
Sementara itu, JR Logan (meninggal 1869) malahan lebih antusias dalam memakai sebutan Indonesia atau Indunesians. Logan menulis dalam artikelnya, "The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Enquiries into the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders" pada 1850:

Saya lebih menyukai istilah geografis "Indonesia" yang sekadar pemendekan istilah "Indian Islands" atau "Indian Archipelago." Dari sana, kita dapatkan "Indonesian" untuk "Indian Archipelagian" atau "Archipelagic", dan "Indonesians" untuk "Indian Archipelagians" atau "Indian Islanders" (dikutip dari The Idea of Indonesia, terjemahan Zia Anshor, 2008, hlm. 3-4).
Hatta menggarisbawahi, GW Earl menggunakan sebutan Indunesians dan Malayunesians untuk merujuk pada penduduk Kepulauan Nusantara. Sementara itu, Logan menggunakan istilah Indunesians (atau Indonesia) sebagai suatu pengertian geografis murni, yakni menunjuk pada kepulauan tersebut.
Jelaslah bahwa dalam perspektif para ilmuwan Eropa itu, keadaan etnografis dan geografis Nusantara tak lepas dari kedekatan dengan wilayah-wilayah sekitar, utamanya Anak Benua India. Karena itu, istilah Indunesia/Indunesians adalah gabungan dari Indu ('India') dan nesos (Yunani: 'kepulauan').
"Sekalipun dia (Logan) bukan penganjur penambahan penamaan-penamaan Yunani, dia sama sekali tidak berkeberatan terhadap nama 'Indonesia', yang bagi orang Eropa bernada Yunani, karena menurut pendapatnya kata nusa (pulau) yang berasal dari bahasa Melayu itu mungkin sama tuanya dengan kata nesos Yunani," tulis Hatta.
Menjadi Alat Melawan Kolonialisme
Meski pernah menggunakan istilah Indonesia dalam pengertian geografi dan budaya, Prof Dr GA Wilken lebih suka memakai istilah Kepulauan Hindia. Hal itu diungkapkan RE Elson. Kebiasaan guru besar Universitas Leiden ini lantas diikuti para ilmuwan dari generasi sebaya dan setelahnya, semisal H Kern, GK Niemann, dan CM Pleyte. Orientalis terkemuka, Christiaan Snouck Hurgronje, juga memakai istilah Indonesia, kendati dia lebih menyukai istilah Inlander (pribumi).
"Indonesian adalah kata sifat yang digunakan untuk mewakili sifat-sifat tersebut (ciri etnis, dsb --Red), sementara Indonesians adalah orang-orang dengan ciri-ciri umum seperti itu (yang terkadang dianggap mencakup penghuni Madagaskar hingga Formosa [Taiwan]), dan Indonesia adalah tempat(-tempat) yang mereka huni," demikian tulis RE Elson.
Para ilmuwan sejak Adolf Bastian hingga H Kern, menurut Elson, kerap memakai istilah Indonesia, tetapi bukan dalam pengertian politis.
Orang-orang Pribumi terpelajar-lah yang menjadikan istilah Indonesia tak hanya sebagai identitas, tetapi juga alat perjuangan melawan kolonialisme.
Hatta mengungkapkan, dalam arti politik, nama Indonesia sejak tahun 1922 secara konsekuen dipakai oleh Perhimpunan Indonesia. Organisasi itu dibentuk pada 1908 di Belanda dengan nama Indische Vereeniging atas prakarsa Soetan Kasajangan Soripada dan RM Noto Soeroto dengan tujuan rekreasi atau klub belajar.
Barulah ketika dua tokoh nasional, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) bergabung pada 1913, para anggota Indische Vereeniging mulai aktif mendiskusikan tentang masa depan Indonesia. Sejak saat itu, Indische Vereeniging aktif di ranah politik. Kemudian, pada September 1922, namanya menjadi Indonesische Vereeniging. Tiga tahun kemudian, nama itu meninggalkan bahasa Belanda sama sekali sehingga menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Pada masa awal abad ke-20, kalangan terpelajar Indonesia di Eropa kerap mengampanyekan nama Indonesia, bukan Hindia Belanda.
Sebagai contoh, Bung Hatta muda yang saat itu sedang bersekolah di Belanda dengan gencar melakukan kampanye demikian. Di pelbagai kesempatan, khususnya forum-forum internasional yang mempertemukan para nasionalis muda dari negeri-negeri terjajah. Sebut saja forum Bierville, Liga Melawan Imperialisme, Liga Wanita Internasional, dan sebagainya.
Menurut Hatta, kampanye demikian cukup sukses karena makin banyak nama Indonesia disebut. Apalagi, nama itu mengandung tekad kemerdekaan.
Pada 1928, Hatta, sang ketua PI terlama (1926-1930) menegaskan:

"Bagi kami orang Indonesia, nama Indonesia mempunyai arti politik dan menyatakan suatu tujuan politik. Dalam arti politik, karena ia mengandung tuntutan kemerdekaan, bukan kemerdekaan Hindia-Belanda, melainkan kemerdekaan Indonesia .... Bagi kami Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena ia melambangkan dan mencita-citakan suatu Tanah Air di masa depan dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel mengenai "SISTEM BUKU BESAR DAN PELAPORAN"

  Artikel mengenai "SISTEM BUKU BESAR DAN PELAPORAN" A. Aktivitas Buku Besar dan Pelaporan Empat (4) aktivitas dasar yang dila...