Orang lebih cenderung
percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki.
Misal seseorang memang sudah tidak setuju terhadap kelompok tertentu, produk,
atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasi opini dan
sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya, ujar Laras Sekarasih, PhD, dosen
Psikologi Media dari Universitas Indonesia, saat dihubungi Kompas.com. Hal
tersebut, menurut Laras, juga berlaku pada kondisi sebaliknya. Seseorang yang terlalu
suka terhadap kelompok, produk, dan kebijakan tertentu, jika menerima informasi
yang sesuai dengan apa yang ia percayai, maka keinginan untuk melakukan
pengecekan kebenaran terlebih dahulu menjadi berkurang. Secara natural,
perasaan positif akan timbul di dalam diri seseorang ketika ada yang
mengafirmasi apa yang dipercayai. Perasaan terafirmasi tersebut juga menjadi
pemicu seseorang dengan mudahnya meneruskan informasi hoax ke pihak lain.
Penyebaran hoax, selain karena adanya perasaan terafirmasi, juga dipengaruhi
oleh anonimitas pesan hoax itu sendiri.
“Sering kali ada awalan
pesan ‘sekadar share dari grup sebelah’. Anonimitas ini menimbulkan pemikiran
bahwa jika informasinya salah, bukan tanggung jawab saya. Saya sekadar share,”
ujarnya lagi. Terbatasnya pengetahuan Alasan kedua bagi seseorang mudah percaya
pada hoax, lanjut Laras, bisa juga disebabkan terbatasnya pengetahuan. “Tidak
adanya prior knowledge tentang informasi yang diterima bisa jadi memengaruhi
seseorang untuk menjadi mudah percaya,” katanya. Ia mencontohkan informasi yang
ramai disebarkan melalui broadcast message berisi ajakan untuk mengunduh
aplikasi tertentu atau donasi melalui perusahaan tertentu. Kepercayaan terhadap
informasi-informasi tersebut bisa jadi dikarenakan tidak ada pengetahuan
sebelumnya mengenai aplikasi atau perusahaan yang dimaksud.
Fakta menariknya, tidak ada satu pun orang yang benar-benar
imun terhadap hoax. Siapa saja bisa menjadi korban sesatnya informasi hoax.
“Ketika berbicara soal media sosial, media digital, saya berpendapat, kita
harus bedakan antara kemampuan mengevaluasi informasi dengan kemampuan
mengoperasikan gawai. Seseorang yang tech savvy belum tentu information
literate,” ujarnya. Oleh karena itu, secara teoretis, menurut Laras, rentan
atau tidaknya seseorang terhadap hoax lebih tergantung pada kemampuan berpikir
kritis, mengevaluasi informasi, dan literasi media, bukan hanya kemahiran
memanfaatkan teknologi informasi.
"Hoax" memberi dampak psikologis Laras mengatakan, secara umum hoax memiliki daya untuk mengubah dan memperkuat sikap atau persepsi yang dimiliki seseorang terhadap suatu hal. Bisa jadi ketidaksetujuan terhadap kebijakan tertentu, orang tertentu, kelompok tertentu, dan sebaliknya. Namun, khusus informasi-informasi hoax yang bersifat negatif dapat menyebabkan kecemasan berlebih. “Informasi hoax yang negatif menimbulkan rasa takut terhadap dunia luar, ada kecemasan berlebih,” katanya.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta Danarka Sasongko menilai, literasi publik terhadap pesan-pesan di media sosial masih rendah. Hal itulah yang menyebabkan berita-berita palsu atau hoax banyak dibagikan oleh masyarakat di media-media sosial pribadinya. Itu merupakan penyebab hoax menjadi viral yang pertama.
"Hoax" memberi dampak psikologis Laras mengatakan, secara umum hoax memiliki daya untuk mengubah dan memperkuat sikap atau persepsi yang dimiliki seseorang terhadap suatu hal. Bisa jadi ketidaksetujuan terhadap kebijakan tertentu, orang tertentu, kelompok tertentu, dan sebaliknya. Namun, khusus informasi-informasi hoax yang bersifat negatif dapat menyebabkan kecemasan berlebih. “Informasi hoax yang negatif menimbulkan rasa takut terhadap dunia luar, ada kecemasan berlebih,” katanya.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta Danarka Sasongko menilai, literasi publik terhadap pesan-pesan di media sosial masih rendah. Hal itulah yang menyebabkan berita-berita palsu atau hoax banyak dibagikan oleh masyarakat di media-media sosial pribadinya. Itu merupakan penyebab hoax menjadi viral yang pertama.
"Masyarakat masih belum bisa
membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Regulasi kita juga belum
menjangkau hal-hal seperti itu. Oleh karenanya, kedua aspek itu perlu dibenahi,"
kata Danar saat dihubungi, Ahad, 22 Januari 2017.
Kedua, menurut Danar, dunia media sosial
bagi masyarakat Indonesia adalah hal yang baru. Itu sebabnya, masyarakat
tergopoh-gopoh berhadapan dengan dunia yang baru tersebut. Hal itu, kata Danar,
membuat masyarakat cenderung menelan sebuah informasi secara mentah-mentah.
"Inilah kecenderungan masyarakat kita."
Ketiga, Danar berujar, fenomena merebaknya hoax di
media sosial juga meningkat menjelang pemilihan kepala daerah atau pemilihan
umum. Keempat, kultur politik masyarakat belum matang. "Itu mengakibatkan
political hoax banyak dikonsumsi masyarakat, black campaign," tuturnya.
Karena itu, menurut Danar, pemerintah
perlu memperkuat regulasi, khususnya Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE). Dia menilai, revisi UU ITE yang baru saja dilakukan
hanya menjangkau aspek hukum. "Tidak melibatkan teman-teman dari ilmu
komunikasi, ilmu antropologi, dan lain-lain."
Danar mengatakan, definisi-definisi khusus tidak
tertulis secara gamblang dalam UU ITE. "Misalnya tentang pesan media
sosial, mana yang boleh dan mana yang tidak. Jadi, semisal terdapat suatu kasus
dibawa ke pengadilan, orang hanya akan berdebat per definisi yang tidak secara
khusus diatur," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar